Ojenews, Com, Ketapang Kalbar, Kalimantan Barat.Kemarahan masyarakat Desa Teluk Bayur, Kecamatan Sungai Laur, Kabupaten Ketapang, tak terbendung setelah menemukan dugaan kuat bahwa PT. Prakarsa Tani Sejati (PTS) telah mengelola lahan sawit di luar batas Hak Guna Usaha (HGU) yang dimilikinya. Dugaan ini diperkuat oleh peta digital Kementerian ATR/BPN melalui portal Bhumi, yang menunjukkan adanya kegiatan penanaman sawit perusahaan di luar zona yang diizinkan.
Warga menilai tindakan ini sebagai bentuk pelanggaran hukum sekaligus bentuk pengabaian terhadap hak masyarakat adat.
“Kami tidak pernah menyerahkan lahan di luar HGU itu kepada perusahaan. Tanaman sawit itu tumbuh di atas tanah ulayat kami tanpa persetujuan. Ini bentuk penjajahan baru,” ujar Andi Kusmiran, tokoh masyarakat setempat.
Dari analisis spasial dan verifikasi di lapangan, diketahui bahwa area yang ditanami sawit di luar HGU perusahaan mencapai lebih dari 1.000 hektar. Lebih ironisnya lagi, kegiatan replanting atau penanaman ulang yang dilakukan oleh perusahaan diduga berlangsung tanpa nota kesepahaman (MoU) baru dengan masyarakat sebagai pemilik lahan.
Tak berhenti di situ, PT. PTS juga disebut tidak memenuhi kewajibannya untuk menyediakan Tanah Kas Desa (TKD) sebagaimana diatur dalam Perda Ketapang Nomor 7 Tahun 2015 Pasal 46. Padahal, TKD merupakan bentuk kompensasi lahan bagi masyarakat yang dirampas ruang hidupnya akibat ekspansi perkebunan.
Masyarakat menuntut agar pemerintah daerah dan instansi vertikal seperti BPN dan kepolisian segera bertindak tegas.
“Kami minta lahan kami dikembalikan dan perusahaan dihentikan aktivitasnya di luar HGU. Pemerintah jangan tutup mata!” kata Andi menegaskan.
Peristiwa ini menambah daftar panjang konflik agraria di Kalimantan Barat, yang umumnya berakar dari lemahnya pengawasan dan sikap permisif terhadap korporasi. Jika dibiarkan, praktik-praktik serupa hanya akan memperluas jurang ketidakadilan di tengah masyarakat adat yang terus terpinggirkan di tanahnya sendiri.