Oleh Sri Wahyuni Zanra
(dosen pada STIE Mahaputra Riau)
Oje,-Dalam dunia pendidikan, guru memiliki posisi yang sangat mulia. Ia bukan hanya pengajar, tetapi juga pendidik, teladan moral, dan agen perubahan sosial. Namun, kemuliaan profesi ini berada dalam ancaman diam-diam yang jarang disorot secara kritis: praktik gratifikasi. Meski sering kali disamarkan dengan istilah “tanda terima kasih” atau “oleh-oleh”, gratifikasi kepada guru khususnya dari orang tua murid dapat mengganggu prinsip dasar pendidikan: keadilan, integritas, dan profesionalisme.
Di balik senyum ramah seorang guru yang menyambut siswa setiap pagi, tersembunyi beban moral yang tidak selalu disadari: gratifikasi. Gratifikasi di lingkungan sekolah sering kali dianggap wajar. Bentuknya bisa sangat halus—mulai dari bingkisan saat hari kenaikan kelas, makanan ringan, hampers lebaran, hadiah sepatu untuk guru, hingga amplop “ucapan terima kasih” dari orang tua murid dan biasanya akan semakin banyak ditemui pada ulang tahun guru, hari guru nasional, kenaikan kelas, momen pembagian rapor, bahkan saat perpisahan sekolah. Praktik seperti ini sering kali dibungkus dalam istilah “tanda kasih” atau “sekadar oleh-oleh”, namun kenyataannya, inilah benih konflik kepentingan dalam dunia pendidikan.
Gratifikasi, meskipun tampak kecil dan informal, dapat menggerus sendi utama profesi guru: independensi, netralitas, dan keadilan dalam memperlakukan siswa. Guru yang menerima pemberian dari orang tua murid secara rutin atau terbiasa, tanpa sadar, akan membentuk ikatan emosional atau rasa sungkan yang memengaruhi penilaiannya. Guru yang menerima gratifikasi, secara sadar maupun tidak, mulai kehilangan independensinya. Ia mungkin mulai merasa sungkan jika harus menegur anak dari orang tua yang memberi hadiah. Atau merasa perlu lebih memperhatikan anak tersebut dibanding siswa lainnya. Ini adalah bentuk bias tidak kasat mata, tetapi sangat memengaruhi kualitas interaksi dalam proses belajar-mengajar. Ia mungkin akan lebih lunak kepada murid tersebut, lebih cepat membela ketika terjadi konflik di kelas, atau bahkan memberi perhatian lebih daripada murid lain yang tidak “memberi apa-apa”. Keadilan dalam kelas bukan lagi berdasarkan usaha dan karakter, melainkan berdasarkan hubungan sosial antara guru dan orang tua murid.
Pada akhirnya, ruang kelas tidak lagi menjadi ruang yang netral. Anak yang orang tuanya tidak mampu atau tidak terbiasa memberi “tanda terima kasih” mungkin diperlakukan lebih dingin, dinilai lebih keras, atau bahkan tidak mendapatkan kesempatan yang sama dalam kegiatan sekolah. Perlakuan tidak setara ini menghancurkan rasa percaya diri siswa dan menciptakan kesenjangan psikologis sejak usia dini. Ketika hal ini terjadi, nilai pendidikan yang seharusnya ditanamkan kepada generasi muda menjadi tercemar. Bagaimana mungkin murid diajarkan tentang kejujuran, persamaan hak, dan kerja keras, sementara mereka melihat sendiri bahwa “istimewa” bisa dibeli dengan pemberian? Ini bukan hanya soal moral guru, tapi tentang atmosfer pendidikan yang tidak sehat dan sistemik.
Fenomena ini tergambar dengan apik dalam drama Korea “When Life Gives You Tangerines”. Film ini tidak berbicara tentang gratifikasi secara eksplisit, tetapi menyampaikan pesan kuat tentang ketidakadilan struktural yang terjadi di ruang kelas akibat pengaruh sosial dan ekonomi. Di film tersebut, seorang anak miskin yang hidup dalam keterbatasan harus hanya menjadi “wakil ketua” meski secara pemungutan suara menjadi nomor satu harus mengalah dari si “Ketua” yang notabene seoranag murid yang mampu dan selalu membawa Roti tidak hanya bagi guru, namun juga bagi murid lainnya. Guru dalam film itu tidak jahat, namun ia menjadi bias. Ia memperlakukan murid secara berbeda bukan karena prestasi atau sikap, melainkan karena pemberian. Inilah yang sering terjadi di dunia nyata. Banyak guru tidak bermaksud melakukan ketidakadilan, namun saat ia membiasakan diri menerima pemberian, akal sehat dan etika profesional pelan-pelan dikalahkan oleh rasa sungkan dan hubungan personal.
Meski film ini tidak menyebut istilah “gratifikasi”, pesan moralnya jelas: pemberian, walaupun kecil dan tampak tidak berbahaya, bisa menciptakan perlakuan tidak adil dan mencederai nilai pendidikan. Dalam konteks pendidikan kita, roti itu bisa digantikan dengan bingkisan saat pembagian rapor, amplop saat perpisahan sekolah, atau hadiah di hari ulang tahun guru. Padahal, profesi guru adalah profesi moral. Ia dituntut bukan hanya untuk mengajar, tetapi juga untuk menjadi contoh. Menolak gratifikasi bukan soal bersikap keras atau anti sosial, tetapi tentang menjaga integritas, menjaga marwah profesi, dan memastikan setiap murid mendapat perlakuan yang adil tanpa diskriminasi.
Yang membuat persoalan ini semakin kompleks adalah bahwa gratifikasi telah menjadi budaya, bukan lagi insiden. Di banyak sekolah, pemberian kepada guru saat momen-momen tertentu dianggap sebagai kewajaran, bahkan kewajiban moral. Orang tua yang tidak ikut memberi sering dianggap pelit atau tidak sopan, sementara guru yang menolak pemberian dianggap “tidak menghargai niat baik”. Di sinilah letak bahaya yang tersembunyi. Ketika budaya gratifikasi diterima secara kolektif, maka sistem nilai dalam dunia pendidikan mulai bergeser. Profesionalisme tergantikan oleh relasi personal. Objektivitas tergantikan oleh loyalitas informal. Dan yang paling menyedihkan, siswa belajar bahwa privilege dan perlakuan khusus bisa dibeli, bukan diperjuangkan melalui sikap dan prestasi.
Mengapa Ini Perlu Diakhiri? Gratifikasi bukan hanya soal penerimaan hadiah, tetapi menyangkut integritas moral dan keadilan sosial dalam pendidikan. Jika kita terus membiarkan praktik ini, maka yang tumbuh adalah generasi muda yang melihat ketidakadilan sebagai hal yang normal. Murid akan menyaksikan bahwa perlakuan berbeda bisa diraih bukan dengan kerja keras, tapi dengan kekuatan ekonomi keluarga. Ini adalah pembelajaran yang sangat berbahaya. Guru sebagai ujung tombak pendidikan harus berdiri kokoh menjaga marwahnya. Ia adalah panutan, dan tindakan kecilnya memiliki dampak besar dalam membentuk nilai-nilai generasi muda. Ketegasan untuk menolak gratifikasi bukanlah bentuk kesombongan, tetapi komitmen pada keadilan dan profesionalisme.
Jika kita ingin menciptakan generasi yang jujur, adil, dan kompeten, maka proses pendidikannya pun harus bersih dari praktik-praktik abu-abu seperti gratifikasi. Sekolah seharusnya menjadi ruang yang netral, tempat di mana semua murid memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang tanpa dibayangi ketimpangan perlakuan. Guru bukan pegawai toko yang bisa dipengaruhi dengan “tips” atau “bonus”, tetapi penjaga nilai dan penabur masa depan. Maka sudah sepantasnya, guru berdiri tegak, menolak gratifikasi dalam bentuk apa pun, dan membangun ruang kelas yang benar-benar adil—di mana semua “roti” berasal dari semangat belajar, bukan dari saku orang tua. Gratifikasi pada guru mungkin terlihat sepele, namun dampaknya sangat dalam. Ia melukai independensi, merusak keadilan, dan mengaburkan profesionalisme dalam dunia pendidikan. Dalam masyarakat yang sehat, guru adalah sosok yang dihormati bukan karena relasi personal, tetapi karena integritas dan keberaniannya menegakkan nilai-nilai luhur pendidikan.
Sudah saatnya kita berani bersuara, mengoreksi budaya yang keliru, dan menata ulang kembali relasi antara guru, orang tua, dan murid—berdasarkan nilai kejujuran, kesetaraan, dan penghormatan sejati terhadap ilmu. Karena hanya dengan cara itulah, kelas menjadi ruang yang benar-benar mendidik, bukan ruang transaksi terselubung. Bagaimanapun seorang Guru ibarat pelita, tidak seharusnya redup oleh bayangan amplop atau bingkisan.