Adat Nan Sejati Luhak Kepenuhan Negeri Beradat

Ojenews.com Kepenuhan Negeri Beradat-Adat nan sejati adalah suatu ungkapan yang jarang lagi didengar oleh masyarakat Kepenuhan. Ungkapan ini bukan saja sebagai sebuah kiasan namun lebih dari itu, yakni suatu tatanan nilai yang maha tinggi untuk dijadikan suatu pegangan dalam beradat di masyarakat Kepenuhan. Ungkapan ini terdengar kembali setelah Lembaga Kerapatan Adat Luhak Kepenuhaa mengadakan Musyarawah Besar (Mubes) tahun 1968 di Kota Tengah. Dari masa Mubes tersebut sampai dilaksanakannya kembali Pengkajian Tombo Adat Luhak Kepenuhan pada tangga) 17-19 April 1999, belum juga dibicarakan secara khusus. Yang ada hanyalah diucapkan dalam pembicaraan keseharian, itu pun hanya sedikit dari sekian banyak pejabat adat yang mengetahui hal ini.

Penulis merasa bahwa dalam Adat Nan Sejati tersebut merupakan dasar adat yang dipakai oleh masyarakat Kepenuhan dalam menyikapi kehidupan keseharian, mulai dari Datuk sebagai yang dituakan, Mamak tahu pula akan tugasnya sebagai Mamak, begitu pula dengan anak kemenakan, mereka tahu apa yang menjadi kewajiban dalam beradat. Dalam Adat Nan Sejati tersebut ada lima hal, yaitu sebagai berikut.

A. Jojo

Dalam perbendaharaan bahasa Indonesia sulit mencari kosa kata jojo, karena kata jojo memang kosa kata asli masyarakat Kepenuhan. Jojo berarti berkenalan, saling kenal, kenal-mengenal, dan tahu akan silsilah jalur keluarga, somondo, sanak famili, handai taulan, dan masyarakat pada umumnya.

Dalam pengertian yang lebih umum, jojo adalah suatu upaya yang dilakukan oleh masyarakat Kepenuhan dalam rangka mensosialisasikan keberadaan keturunan leluhurnya. Hal ini dimaksudkan agar satu dengan yang lain saling mengerti dan memahami di mana ia harus memanggil Atuk (kakek), Uwak (nenek), Pak Tuo (paman), Mamak, Makcik, Ulong dan sebutan lainnya. Oleh karenanya yang lebih ditekankan di sini adalah pada jalur keluarga atau hubungan kekeluargaan dalam adat.

Pada tahapan pertama adalah tahapan yang akan mengantarkan kepada tahapan berikutnya. Jadi tahapan ini merupakan tahapan dasar Adat Nan Sejati. Bagaimana kita bisa berkaum atau mengatakan bahwa “Atuk tu na kaum awak tu…” apabila tidak diiringi dengan jojo ini. Boleh jadi bukan memanggilnya dengan Datuk, namun Mamak. Inilah pentingnya peranan dalam berjojo.

Bagi masyarakat masa dahulu, berjojo adalah hal yang paling pokok untuk mereka junjung. Mereka punya pandangan jauh ke depan sebagai estafet bagi anak cucu mereka di kemudian hari. Itulah mengapa adat pada masa tahun 1910-an sangat diper-hatikan. Dengan melaksanakan berjojo ini maka terasa bahwa kita bersaudara, kita adalahberkaum, dankita adalahberfamili. Hasil dari berjojo ini juga akan menentukan bopangko (memanggil) dengan Bapak, Makcik, Datuk, Mamak, Pak Tuo, Mak Ngah, Mak Lung, Mak atau sebutan lainnya. Ini adalah jenjang dari silsilah yang dihasilkan dari berjojo tersebut, karena yang dipakai di sini adalah berjojo menurut adat.

Apabila kita sudah saling kenal satu dengan yang lain, dan tahu silsilah keluarga, baik sobolah (pihak) Ayah, sobolah Omak, sobolah Somondo, sobolah Apak, sobolah Datuk, dan sobolah Uak, maka secara rinci kita adalah berkaum.

B. Kaum

Hasil akhir dari berjojo tersebut adalah berkaum. Kaum dalam pengertian umum adalah adanya suatu jalinan persaudaraan antara satu dengan yang lain dalam suatu kelompok keluarga dalam bentuk suatu komunitas menurut jalur kekeluargaan yang telah sama-sama diakui keberadaannya antara satu dengan yang lain.

Karena telah melaksanakan tahapan awal, yaitu berjojo makadengan sendirinya kita akan rnenyadari, bahwa kita memiliki hubungan darah. Dengan demikian ada suatu komunitas. Mak tidak asing didengar dalam masyarakat Kepenuhan setelah melakukan jojo, “O …, bokaum teh wok nyo ne…!” (rupanya kita adalah berkaum). Ada suatu keharuan tersendiri yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Sampai saat ini, hal itu masih berlangsung.

C. Adat

Tahapan pertama adalah jojo, tahapan kedua adalah kaum, dan tahapan berikutnya adalah adat. Pada tahapan ini yang lebih ditekankan adalah tata cara atau kebiasaan keseharian yung mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Pengaturan atau kebiasaan di sini adalah kebiasaan yang telah menjadi aturan yang tidak tertulis oleh masyarakat, namun dianggap suatu pedoman yang dapat dijadikan tata cara kehidupan yang dipogang pakai. “Lain lubuk lain ikan, lain padang lain belalang”, ini menunjukkan bahwa dalam komunitas tersebut ada aturan main tersendiri yang tidak dapat diganggu gugat oleh masyarakat lain.

Kebiasaan itu sendiri merupakan sebuah adat kebiasaan yang dalam hal ini menjadi pegangan masyarakat. Sebagai contoh adalah adat perkawinan, adat khitanan, adat moncukua, adat berlimau dan sebagainya. Semuanya itu ada aturan yang menyangkut tata nilai kehidupan masyarakat.

Maka di sini terlihat tugas dari pejabat adat dapat memberikan beberapa tahapan yang dilakukan dalam memperkenalkan dan mensosialisasikan tentang adat kepada anak kemenakan di seluruh lini pengetahuan. Apalagi tentang adat ini, maka sudah menjadi tugas pokok dari Mato Buah Poik yang dekat dengan anak kemenakan menyampaikan beberapa hal berkenaan dengan adat, baik langsung maupun tidak langsung, berjalan secara bersamaan.

D. Basa-basi

Basa-basi lebih diartikan sebagai tegur sapa dalam masyarakat dan mengerti akan tata cara pergaulan dalam adat. Seteiah kita mengetahui akan beradat, maka tahapan selanjutnya adalah basa-basi atau tata cara kita dalam melakukan interaksi dengan sesama masyarakat. Basa-basi merupakan alat yang ampuh untuk dapat menggugah perhatian orang lain atau lawan bicara. Ungkapan tersebut merupakan bahasa pergaulan sehari-hari dalam masyarakat.

Tata krama dan etika diajarkan pada dataran ini, karena hal tersebut perlu diajarkan atau dikuasai dengan baik. Etika bermasyarakat dan beradat periu menjadi perhatian, karena hal ini langsung dipraktekkan oleh seluruh elemen masyarakat adat di Kepenuhan. Pada tataran ini pula, mengingatkan kita apa yang telah disampaikan oleh Raja Ali Haji, yakni sebagai berikut.

“Jika hendak mengenal suatu bangsa, lihatlah kepada budi dan baJiasa, dan jika ingin melihat tinglah laku seseorang, lihat ketika mereka berkumpul dengan orang ramai.”

Dalam berbasa-basi perlu lebih tajam lagi memahami etika dan tata pergaulan yang ramah dan berwibawa, karena mereka sudah dapat memahami jati diri, baik diri sendiri maupun jati diri keadatan yang dipegang teguh sebagai barometer kehidupan keseharian.

E. Agama

Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah. Apa pun yang menjadi dasar dari tahapan di atas namun tetap bermuara pada agama. Ini terbukti bahwa dalam masyarakat Kepenuhan yang mayoritas Islam tetap berpegang teguh kepada tali agama yang mereka anut, yaitu Islam.

Adat yang dipogang pakai sebagai fundamen dalam menjalankan seluruh proses adat sangat memperhati syarak, yaitu aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar, yang bersumberkan kepada Al-Quran dan Hadits.

Kalau diperhatikan secara seksama dalam Adat Nan Sejati, maka dapat kita bayangkan suatu tatanan masyarakat yang tahu akan tugas atau jati diri serta tahu pula dalam menjalankan aktivitas adat yang mantap tanpa ada suatu keraguan yang menghantui.

Benar apa yang telah diyakini oleh masyarakat, bahwa jika Adat Nan Sejati dapat berjalan dengan baik, dalam pengertian dijalankan tahapan-tahapan itu sesuai dengan urutannya, maka pejabat adat tidak perlu bersusah payah melakukan kontrol kepada seluruh anak kemenakan yang ada.(Dilansir dari Luhakkepenuhan.com/Oje).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *