Oleh : Rijal Batamo DPD GAMRI Kabupaten Rokan Hulu 2006
Statemen bahwa Indonesia adalah tempat yang subur bagi ilmuwan sosial terutama ilmuwan politik dapat dibenarkan, apalagi kalau kita melihat proses demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia dewasa ini.
Pemilu sebagai bagian dari Demokrasi telah menyedot energi anak bangsa begitu hebat, sehingga hampir tidak ada manusia dewasa di Negeri Indonesia Raya yang tidak mengenal dan membicarakan Pemilu. Pada saat Pemilu hampir semua lapisan masyarakat ikut arus partai, arus kampanye, arus dialog dikedai kopi, dan akhirnya arus mencoblos di TPS.
Fenomena Demokrasi semacam ini bagi sebagian orang tidak ubahnya seperti “ Kondang in Berbangsa ” yang kalau tidak diikuti tidak enak dengan tetangga, Pak RT/RW, atau Pak Kades/Lurah.
Di sisi lain ada kelompok yang menentang Pemilu dan menghujat kesana dan kemari tanpa memberi solusi. Mereka terkesan sangat idealis dan sangat bersih, dan mungkin dihati kecilnya terbersit juga bahwa yang berhak memimpin bangsa dan Negara Indonesia ini adalah kelompok mereka.
Fenomena tersebut bagi kalangan ilmuwan politik merupakan lahan subur yang perlu diamati dan diteliti. Karenanya tidaklah heran bermunculan Pengamat Politik dan Lembaga – Lembaga Survey terkenal karena meneliti dan mengkaji fenomena politik ditanah air Indonesia.
Partai politik, terutama setelah tumbangnya era Orde Baru tumbuh bagaikan jamur cendawan dimusim hujan, pada Pemilu tahun 1999 ratusan partai politik yang didirikan, tapi yang boleh ikut Pesta Pemilu hanyalah 48 partai.
Pada pemilu tahun 2004 juga bermunculan ratusan partai politik, tapi yang yang lolos verifikasi hanya 24 partai, separuh dari tahun 1999. Realitas ini menandakan bahwa nafsu dan feeling berpolitik warga Negara Indonesia sangat tinggi. Jika partai mereka di izinkan ikut pemilu tentunya akan lebih heboh dan riuh, terutama ketika musim kampanye tiba, jelas semua partai akan menjual “kecap” namun disisi lain godaan Penjual Kecap itu akan diserahkan sepenuhnya kepada para Pemilih (Rakyat) yang Berdaulat, mana penjual kecap yang jujur dan mana yang berdusta.
Dialektika semacam ini tidak dapat dihindari terutama dalam proses demokrasi, disamping itu kalau kita dalami setiap partai akan muncul kategori-kategori tertentu, seperti ada partai yang beraliran Nasionalis, Sosialis, Religius dan Marhaenis. Dalam partai Nasionalis bervariasi lagi menjadi Nasionalis Religius dan Nasionalis Sekuler.
Begitu juga dalam Religius terbagi lagi menjadi Religius Nasionalis dan Religius Sosialis. Artinya pergulatan partai politik pada era Reformasi semakin meningkat dan sekaligus menarik karena dengan adanya perbedaan ideology terdapat juga kolusi ideologi. Kadangkala kolusi ideology di tingkatkan untuk tujuan-tujuan Pragmatis, seperti bagi-bagi Kursi.
Bahkan satu ideology kadangkala susah berkolusi karena punya sejarah yang pahit antara keduanya, seperti PDI-P dan PNBK yang sama-sama Nasionalis. Begitu juga antara PPP dan PBR yang sama-sama berazas Islam juga susah untuk berkoalisi. Ternyata meneliti hubungan antara berbagai partai politik di Indonesia bagaikan memasuki rimba belantara, yang pada satu sisi menakutkan dan disisi lain menggiurkan karena ada tantangan baru dan alam baru yang sama sekali belum terjamah secara mendalam.
Karena begitu dinamisnya perkembangan politik di tanah air Indonesia, banyak Perguruan Tinggi merasa terpanggil untuk ikut berpartisipasi aktif dalam memberikan bobot proses Demokratisasi, sebab kita melihat bahwa perebutan kekuasaan dalam sejarah ummat sudah merupakan bagian integral dari kehidupannya, dan dalam sejarah politik banyak bermunculan bentuk-bentuk Pemerintahan, dari Diktator sampai Demokrasi Liberal, tetapi semuanya belum ada yang menampakkan wajah ideal di alam nyata. Namun dari sekian banyak bentuk Pemerintahan, Demokrasi secara relatif telah memberikan harapan dan pencerahan bagi kemajuan dan peradaban ummat manusia, yang tentunya di sana sini masih terdapat kekurangan.
Atas dasar itu kalangan yang tercerahkan secara moral dan intelektual jika tidak ikut memberikan kontribusi pada proses demokrasi di khawatirkan akan melenceng dari tujuan utamanya, yaitu memajukan dan mensejahterakan bangsa.
Menganalisa perjalanan partai politik terutama dalam Sistem Pengkaderan, karena ternyata partai politik tidak berhasil dalam Labor Pengkaderan. Buktinya partai politik merekrut kader – kader dari Organisasi Tradisional seperti Organisasi Kemasyarakatan dan Keagamaan yang sudah mapan. Bagi partai politik yang baru muncul kesulitan mendapatkan Kader yang bermutu semakin terasa, lagi pula partai yang sudah mapan sudah duluan membina Ormasnya secara intens.
Akhirnya partai politik baru disamping kehilangan pijakan juga kehabisan energi. Komaruddin Hidayat Dosen UIN Jakarta pernah mempertanyakan Pemilu untuk Siapa ? tentu saja pertanyaan tersebut sudah jelas tujuannya yakni mempertanyakan tanggung jawab moral Elit Partai agar tidak mementingkan egoism diri dan partainya. Sebab tujuan utama Pemilu itu sendiri adalah untuk kesejahteraan semua lapisan masyarakat, elit partai harus bersikap lebih peduli pada nasib rakyat banyak bukan pada jabatan semata dengan mengabaikan kepentingan mereka.
Bahwa etika pemilu dan politik perlu ditegakkan karena tanpa ada etika, maka pemilu akan menjadi Bumerang bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu disamping penegakan aturan-aturan secara tegas, etika merupakan benteng yang perlu dihormati, rendahnya moralitas Pemimpin akan berimplikasi pada lemahnya bangsa. Jika pemimpin yang dipilih nanti tidak bermoral, maka yang akan terjadi bukannya perbaikan tetapi kemunduran kalau tidak kehancuran.
Bangsa bermartabat adalah bangsa yang mampu menegakkan nilai-nilai moral universal dalam kehidupan berbangsa, karena itu praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme harus dibabat habis sampai keakar-akarnya.
Pemilihan Umum dihadapkan dengan beberapa pertanyaan mendasar, antara lain sebenarnya untuk siapa pemilu di selenggarakan ? akankah Wakil Rakyat, Kepala Daerah dan Presiden yang terpilih merupakan Putra – putri terbaik bangsa Indonesia yang mampu memperbaiki kondisi Negara dan Rakyatnya, atau malah akan semakin memperparah keadaan ? mengamati semangat para elit partai politik sekarang ini khususnya para Pemain Senior, muncul dibenak saya beberapa pertanyaan dan keraguan, sebenarnya apa yang menjadi Obsesi mereka mendirikan partai politik dan ikut pemilu ? dengan bersangka baik, bias jadi mereka ingin berbakti pada Nusa dan Bangsa untuk membangun demokrasi dan turut memperbaiki nasib bangsa yang kian di Lilit Hutang dan Korupsi.
Selain terbukanya iklim kebebasan diantara mereka sudah memasuki usia 60-an sehingga bila tidak sekarang kapan lagi bisa ikut bermain dipanggung politik. Menunggu pemilu yang akan datang 5 tahun lagi ? mungkin usia, stamina dan kapasitas intelektual kian mengendur dan tidak mampu bersaing dengan Tokoh-tokoh muda.
Jadi sebaiknya kepada mereka kita ucapkan Salut, Selamat berjuang dan semoga sukses. Mari kita beri dukungan moral, semoga di usia menjelang senja masih berkesempatan meningkatkan pengabdian kepada Negara dan hitung-hitung kalau ada sambil membersihkan Dosa-dosa politik masa lalu.
Para Politisi Senior dan Mantan Pejabat itu sebaiknya membuka pintu bagi Generasi Muda yang lebih segar, belum terserang Virus Korupsi dan belum terjerat dalam jebakan ideology kelompok serta menonjolkan idealismenya ketimbang berpolitik untuk mengejar Popularitas dan Kekayaan.
Jadi untuk apa dan siapa Pemilu Mendatang ? Secara Teoritis-Normatif Pemilu untuk menjaring Wakil Rakyat, Kepala Daerah dan Presiden yang akan Duduk di Kursi Kekuasaan setelah memperoleh Mandat dan Kepercayaan Rakyat karena pertimbangan integritas dan kompetensinya. Pemilu adalah Sarana Jalan untuk Merebut Kekuasaan, Dai Kondang Sejuta Ummat pernah mengatakan : “ Segenggam Kekuasaan Lebih Berharga daripada Sekeranjang Kebenaran “.
Untuk itu diperlukan berupa kesadaran, partisipasi dan tindakan nyata dari kita semua untuk menciptakan Pemilu yang berkualitas, baik aspek Penyelenggara,Peraturan, Perilaku Pemain, Pengawas maupun Supporternya.